Minggu, 17 Maret 2013

BAB 20 Poligami



Ijinkanlah saya untuk mengetengahkan masalah ini ke hadapan Anda.
Saya berharap bisa menyampaikan salah satu pesan Islam ini kepada
Anda dengan jernih dan adil. Semoga Allah menjadikan tulisan ini
barakah dan membawa keselamatan bagi hidup saya di dunia dan akhirat,
beserta orangtua saya, istri saya, dan keturunan saya seluruhnya. Semoga Allah
menjadikan tulisan ini barakah dan membawa keselamatan bagi hidup Anda di
dunia dan akhirat, beserta orangtua Anda, istri Anda, dan keturunan Anda
seluruhnya.
Saya ingin mengabarkan kepada Anda tentang firman Allah:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhdap (hak-hak)
perempuan yang yatim (kalau kamu menikahinya), maka kawinilah wanitawanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian, jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saj, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.” (QS An-Nisa’ [4]: 3)
Tak ada keraguan di dalamnya. Telah jelas firman Allah bahwa menikahi
lebih dari satu istri merupakan bentuk sikap Islami. Syaratnya satu: suami
dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, sehingga seorang pun yang teraniaya
secara psikis karena tidak diperhatikan. Lebih-lebih jika sampai teraniaya
secara fisik karena ditelantarkan nafkahnya.
Ketentuan untuk bersikap adil terhdap semua istri inilah yang secara
hukum dan moral membedakan pernikahan poligamis dalam Islam
dibandingkan praktek-praktek poligamis lainnya.
I
Kado Pernikahan 336
Hal ini berarti, untuk melakukan pernikahan poligamis kita harus melihat
diri kita sendiri pakah kita termasuk orang yang mampu berbuat adil atau
tidak. Untuk bisa melihat diri sendiri dengan tepat dan adil, ia memerlukan
ilmu yang matang dan pegenalan diri yang mendalam.
Kehadiran seorang guru yang jujur dan adil sangat membantu untuk
mengetahui apakah seseorang memenuhi persyaratan atau tidak ketika ingin
melakukan pernikahan poligamis. Amat sering kita tidak mampu menilai diri
kita sendiri. Terkadang kita menilai lebih (over estimate) diri kita sehingga kita
menganggap diri kita memenuhi syarat, padahal tidak. Namun demikian, kita
kadangkala juga menilai diri kita terlalu rendah (under estimate) sehingga
menganggap belum memenuhi syarat, padahal sudah saatnya menolong
saudara-saudara kita.
Keadaan ini sama seperti nikah monogami. Di utara dan di selatan, di
timur dan di barat, orang bergegap-gempita menganjurkan pemuda-pemuda
kita untuk segera menikah. Semua disamakan keadaannya, padahal sebagian
ada yang perlu ditakut-takuti (tarhib) agar tidak segera menikah meski
semangatnya sudah besar, karena keadaan mereka (bukan secara ekonomi)
masih perlu menahan diri dari menikah. Sebaliknya, sebagian ada yang perlu
didorong-dorong, disemangati (targhib) dan kalau perlu dibantu prosesnya,
meski ketika itu ia masih agak-agak takut ketika keadaannya sudah mencukupi
untuk segera menikah, dan menikah jauh lebih besar maslahatnya dibanding
membujang. 1
Jadi, tidak setiap laki-laki muslim dengan sendirinya boleh begitu saja
menikah secara poligamis. Kata Jamilah Jones dan Amu Aminah Bilal Philips
dalam buku mereka yang berjudul Poligami dan Poligini dalam Islam, “Kita
perlu ingat bahwa prialah yang pertama kali disuruh menikah dengan dua, tiga,
atau empat orang wanita (istri), kemudian dia dinasehati agar menikah dengan
seorang wanita saja bila dia tidak dapat berbaut adil dengan labih dari seorang
istri. Ini tidak berarti bahwa Islam menganjurkan semua pria untuk menikah
dengan sekurang-kurangnya dua orang wanita, tetapi tambahan (istri) itu jelas
diperbolehkan bagi orang-orang (pria) yang dapat memenuhi persyaratanpersyaratannya.
2
Saya teringat kepada Ustadz Yunahar Ilyas, Lc.. dalam kesempatan
mengisi seminar di FIPS IKIP Yogyakarta, Ustadz Yunahar menyatakan ada
tiga kelompok orang yang melakukan pernikahan poligamis. Pertama, para
kiai dan orang-orang alim. Mereka menikah poligamis karena dengan
kedalaman ilmunya mereka bisa berlaku adil kepada istri-istrinya. Kedua, para
penguasa. Mereka menikah poligamis karena dengan kekuasannya itu mereka
(mudah-mudahan) bisa berbuat adil. Ketiga, orang-orang nekad. Mereka
menikah secara poligamis tanpa mengetahui atau bahkan tidak mempedulikan
soal berbuat adil. Mereka inilah yang banyak menyebabkan orang memiliki
kesan buruk terhadap poligami. Hal ini muncul karena mereka tidak berbuat
adil terhadap istri-istrinya, menelantarkan salah seorang di antara istri-istrinya,
Kado Pernikahan 337
atau mereka lebih memperhatikan seorang istri dan mengabaikan yang lain.
Akibatnya, orang memiliki kesan yang tidak baik dan bahkan cenderung
membenci pernikahan poligamis. Bahkan, orang bisa bersikap sinis terhadap
mereka yang berpoligami tanpa mempedulikan apakah mereka termasuk yang
tidak adil ataukah justru sebaliknya.
Alhasil, pernikahan poligamis perlu sangat didukung ketika syaratsyaratnya
terpenuhi, terlebih ketika dilaksanakan untuk maksud-maksud yang
membawa kepada kemaslahatan masyarakat. Meskipun begitu, pernikahan
poligamis sebaiknya tidak dilakukan, jika syarat-syaratnya tidak terpenuhi
sehingga jika dilaksanakan dapat membawa keburukan dan kerusakan pada
dirinya maupun masyarakat.
Agar pembicaraan ini lebih lengkap, mari kita lanjutkan dengan satu
pertanyaan, mengapa pernikahan poligamis sangat mendapat tempat dalam
Islam. Wallahu A’lam bishawab. Saya tidak tahu apa sebabnya. Meskipun
demikian, insya-Allah kita dapat melihat hikmah di balik disyari’atkannya
pernikahan poligamis.
Ada banyak aspek yang bisa kita tinjau untuk melihat sebagian hikmah
pernikahan poligamis, akan tetapi bukan bagian saya untuk membahas
keseluruhan aspek di sini. Telah banyak buku yang membahas hikmah
pernikahan poligamis, salah satunya secara khusus membahas hikmah di balik
pernikahan poligamis Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam.
Salah satu hal yang penting untuk kita jadikan sebagai renungan tentang
hikmah pernikahan poligamis ini adalah fakta bahwa jumlah wanita secara
umum jauh melebihi jumlah pria. Mereka semua berhak menikah dan perlu
hidup secara terhormat. Mereka perlu mendapatka pemenuhan kebutuhan akan
kasih-sayang, perlindungan, juga hubungan seks secara terhormat. Pernikahan
poligamis memungkinkan mereka mendapatkan apa-apa yang bisa diperoleh
wanita lain.
Jika Moise Tshombe3 yang sangat menentang poligami mengatakan
cukup baginya seorang istri asal bisa mengganti sekretaris wanitanya setiap
tahun, maka Islam tidak bisa menerima bentuk pelecehan wanita semacam ini.
Bagi Islam, sikap Moise Tshombe ini sangat melecehkan wanitakarena wanita
hanya dijadikan objek kenikmatan tanpa menjaga hak-hak mereka dan
perlindungan hukum yang pasti.
Menikah poligamis, meskipun boleh memperoleh kenikmatan-kenikmatan
seksual di dalamnya, namun lebih cenderung diarahkan untuk menyelamatkan
saudara-saudara kita yang menjelang menopause masih belum datang
pinangan; menolong janda-janda yang mengasuh anak-anak yatim; atau untuk
tujuan-tujuan maslahat lainnya, semisal untuk memperoleh keturunan yang
baik. Contoh tentang yang terakhir ini bisa kita ingat pada peristiwa
pernikahan Al-Hasan dan Al-Husain dengan putri-putri Imri’il Qais.
Kado Pernikahan 338
Dengan demikian, jika pernikahan poligamis diterapkan secara Islami,
insya-Allah akan meninggikan harkat wanita Islam. Sebaliknya, pernikahan
poligamis yang dipesankan Islam justru lebih banyak memuat aspek misi,
mencegah keburukan, mencari kemaslahatan, serta menolong wanita dari tipu
daya kehidupan yang menghancurkan.
Poligami Orang-orang Saleh
Jika kita menengok sekilas catatan emas sejarah Islam, akan kita dapati
bahwa orang-orang yang membuat catatan agung dalam sejarah pada masa
Nabi maupun sesudahnya banyak yang melakukan pernikahan poligamis.
Mereka adalah orang-orang yang dihormati dan siakui kehalusan akhlaknya
serta kebesaran jiwanya. Sahabat dan musuh sama-sama mengakui
keagungannya. Dan mereka tidak menjadi buruk dengan pernikahan poligamis
yang mereka lakukan. Dan kadang justru kemuliaannya tampak dari
pernikahan poligamisnya. Ini antara lain karena banyak di antara pernikahan
poligamis yang dilakukan oleh orang-orang saleh terdahulu jauh dari motifmitif
seksual.
Pernikahan poligamis antara Umar bin Khaththab dengan Ummi Kultsum
putri Sayyidina ‘Ali misalnya, terjadi karena didorong oleh keinginan yang
sangat besar untuk mempunyai hubungan pertalian darah dengan Rasulullah.
Mengapa demikian? Kelak pada hari kiamat semua pertalian darah akan putus
kecuali hubungan pertalian darah dengan Rasulullah. Karena itulah, Umar bin
Khaththab berusaha keras agar bisa menikah dengan cucu Rasulullah ini
sehingga memiliki pertalian darah dengan Rasulullah Saww. di akhirat.
Wallahu A’lam bishawab.
Pernikahan Syaikh Ahmad bin Abu Al-Huwari lain lagi. Suami Rabi’ah
Asy-Syamiyyah meninggal dengan mewariskan harta yangs angat besar
jumlahnya; cukup melimpah-limpah. Rabi’ah menginginkan agar sepeninggal
suaminya, ada yang mampu mentasharufkan (membelanjakan) harta untuk
kepentingan agama. Maka ia mendatangi Syaikh Ahmad dengan maksud
menawarkan dirinya sebagai istri.
Mendapat penawaran diri dari Rabi’ah, Syaikh Ahmad berkata, “Demi
Allah, sesungguhnya aku tidak berminat lagi untuk menikah. Sebab aku ingin
berkonsentrasidalam ibadah.”
Rabi’ah berkata, “Syaikh Ahmad, sesungguhnya konsentrasiku dalam
beribadah lebih tingi daripada kamu. Aku sendiri sudah memutuskan
keinginan untuk tidak menikah. Tetapi, tujuanku menikah kali ini tidak lain
supaya dapat mentasharufkan harta kekayaan yang kumiliki kepada saudarasaudara
yang muslim, dan untuk kepentingan Islam sendiri. Aku pun mengerti
bahwa kamu adalah seorang yang saleh. Tetapi, justru dengan begitu aku akan
memperoleh ridha Allah Swt.”
Kado Pernikahan 339
Syaikh Ahmad berkata, “Baiklah, aku minta waktu. Aku hendak meminta
izin kepada guruku.”
Syaikh Ahmad menemui gurunya, Syaikh Sulaiman Ad-Darani.
Kepadanya ia menceritakan perihal penawaran diri dari Rabi’ah. Emndengar
penjelasan itu, Syaikh Sulaiman Ad-Darani berkata, “Baiklah, kalau begitu
nikahilah dia, karena perempuan itu adalah seorang wali.”
---
Pembahasan dalam bab ini tentu saja belum cukup. Masih banyak hal
yang perlu dicantumkan di sini agar hati kita lebih lapang memahami. Akan
tetapi, sebagai pembahasan awal, saya harapkan tulisan singkat ini dapat
membuka hati kita tentang satu hal: poligami merupakan bagian dari syari’at
Islam, sehingga kita tidak bisa memberikan label pro poligami kepada mereka
yang menunjukkan kebaikannya atau kontra poligami kepada mereka yang
mengingatkan untuk berhati-hati.
Sebagai bagian dari syari’at Islam, maka persoalannya bukanlah dalam
hal setuju atau tidak setuju dengan pelaksanaan pernikahan poligamis.
Persoalannya lebih berkait dengan apakah kita punya kesiapan atau tidak, bisa
berbuat adil atau tidak, memenuhi persyaratan atau tidak, dan termasuk soal ia
tergerak untuk melakukan pernikahan poligamis saat ia dalam keadaan
menikah poligamis atau monogamis baginya sama saja.
Sebaliknya, tidak setiap pernikahan poligamis yang dilakukan umat Islam
dengan sendirinya Islami. Pernikahan poligamis tidak dengan sendirinya sesuai
dengan pesan Islam. Justru bertentangan dengan Islam apabila pernikahan
poligamis tersebut dilakukan dengan melanggar hak-hak kaum perempuan
yang harus dihormati martabatnya, tidak memenuhi persyaratan, dan berbuat
aniaya melalui pernikahan poligamisnya itu.
Sama halnya ketika Al-Qur’an banyak berbicara mengenai kaum
mustadh’afun (proletar) yang sering berhadapan dengan penindas dari
kalangan mustakbirun (penguasa), tidak dengan sendirinya berarti Al Qur’an
sangat sejalan dengan Marxisme. Kita tidak bisa berkata demikian.
Kesimpulan yang tergesa-gesa dengan menganggap Islam sangat Marxian
terjadi karena kurang data. Kita tahu-tahu menyimpulkan demikian. Bahasa
mewahnya orang psikologi, kita melakukan jump to the conclusion (lompatan
ke kesimpulan). Atau kalau bukan karena lompatan ke kesimpulan, barangkali
kita sedang “memasukkan nash ke dalam kerangka pikir tertentu yang terlanjur
kita sepakati” (damj annash ithar al-khash).
Begitu.
Kado Pernikahan 340
Catatan Kaki:
1. Kita perlu mengingat bahwa hukum nikah atas setiap orang bisa berbedabeda
sesuai dengan keadaan orang tersebut. Hukum nikah pada
seseorang bisa berubah-ubah tergantung perubahan keadaan orang
tersebut. Nikah bisa wajib, bisa sunnah, mubah, dan bisa pula makruh,
atau bahkan haram.
2. jamilah Jones dan Abu Aminah Bilal Philips, Monogami dan Poligini
dalam Islam, Srigunting, Jakarta, 1996.
3. Moise Tshombe pernah menjabat sebagai Presiden Republik Katanaga
dan pernah menduduki jabatan Perdana Menteri Kongo dalam waktu
singkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar