Senin, 18 Maret 2013

BAB 14 Keindahan Tak Sekedar “Itu”



Dr. Achmad Tafsir pernah bercerita bahwa orang sering meremehkan
masalah seksual dalam keluarga, padahal banyak krisis keluarga yang
sebetulnya terjadi dikarenakan adanya masalah-masalah seksual yang
tidak diselesaikan. Kedua belah pihak tidak terbuka. Dalam perkembangan waktu
masalah-masalah itu kemudian terakumulasi, dan akhirnya meledak menjadi krisis
keluarga. Ada sikap-sikap ekstrem terhadap seks itu, yang tidak seluruhnya benar.
Begitu Jalaluddin Rakhmat menulis di dalam makalahnya yang kemudian diterbitkan
bersama makalah dari beberapa penulis lain dalam buku Keluarga Muslim dalam
Masyarakat Modern (Remadja Rosdakarya, Bandung, 1993).
Seks dalam keluarga merupakan masalah suci. Islam memberi tempat bagi
manusia untuk menghidupkan aktivitas seks bagi suami-istri. Allah menyediakan
kemuliaan akhirat ketika suami-istri memenuhi kebutuhan seksnya, sekalipun itu
sekedar untuk memperoleh kesenangan dari kekasihnya yang sah. Ketika seorang
suami memandang istrinya, atau istri memandang suami, dengan penuh syahwat
untuk bercumbu atau berjima’, Allah memandang mereka dengan pandangan rahmat.
Alhasil, seorang muslim yang baik juga perlu memahami tuntunan Islam mengenai
seks agar perilaku dan kebutuhan seksnya mempunyai nilai di hadapan Allah.
Sikap ekstrem dalam masalah seks, sebaiknya dihindari. Menyibukkan dalam
zikir sehingga melalaikan kebutuhan seks istrinya, tidak dipandang sebagai kemuliaan
oleh agama. Begitu juga, tidak benar seorang istri menenggelamkan diri dengan
kesibukan ibadah sehingga mengakibatkan kebutuhan seks suami terlantar.
D
Kado Pernikahan 237
Abu Sa’d menuturkan, Rasulullah Saw. pernah menegur istri Shafwan ibn
Mu’attal karena terlalu banyak beribadah sehingga mengganggu kehidupan
perkawinannya. Wanita itu biasa membaca dua surah yang panjang-panjang dalam
shalat Isya’nya, sehingga membuat suaminya menunggu. Ia juga kerap melakukan
puasa tanpa seizin suaminya, yang membuatnya kelelahan dan menghindari setiap
kesempatan untuk melakukan hubungan intim dengan suaminya di siang hari (karena
hubungan seksual dilarang ketika melakukan ibadah puasa). Rasulullah memberikan
peraturan demi suaminya, kata Ruqayyah Waris Maqsood. Beliau menganjurkan
untuk membatasi bacaannya pada satu surah saja, dan puasa bila diizinkan suaminya.
Hal yang sama juga terjadi ketika Rasulullah Saw. mendengar tentang seseorang
yang suka berkhalwat, yaitu ‘Abdullah ibn ‘Amr. Ia biasa melakukan shalat di
sepanjang malam dan puasa di sepanjang siang. Rasulullah menasehatinya untuk
tidak berlebihan dalam ibadahnya seraya mengatakan, “Matamu mempunyai hak atas
kamu, tamumu mempunyai hak atas kamu, dan istrimu pun mempunyai hak atas
kamu.” (HR Bukhari).
Allah ‘Azza wa Jalla memberikan rahmat bagi suami-istri yang melakukan jima’.
Allah juga memberikan kenikmatan surgawi yang sangat menyenangkan ketika kita
berjima’. Jima’ memberikan kelegaan dan keindahan dalam rumah tangga. Jima’
sangat penting dalam menjaga keharmonisan hubungan suami-istri. Ia bisa
mempererat jalinan perasaan dua orang yang berlainan jenis itu.
Jima’ begitu penting dalam menegakkan kehidupan rumah tangga. Tetapi ada
yang lebih penting dari itu. Manusia membutuhkan ketenangan (sakinah), cinta kasih
dan rahmah. Jima’ hanyalah salah satu wasilah (perantara) untuk mencapai
ketenangan jiwa karena gejolak syahwat dapat disalurkan melalui jalan yang halal dan
dihormati Allah. Karena itu, jima’ secara halal dapat menambah kecintaan suami-istri.
Jima’ hanyalah wasilah. Ketika seseorang melakukan jima’, maka yang paling
penting bukanlah kenikmatan bersetubuh, tetapi ketenangan jiwa, kejernihan hati, dan
kelapangan dada dari beban karena desakan itu bisa disalurkan dengan baik.
Sekalipun demikian, jima’ bukan semata peristiwa biologis. Ia juga merupakan
peristiwa psikis.
Ketika jima’ terhenti hanya sebagai peristiwa biologis, maka yang ia peroleh
hanyalah kenikmatan saat inzal (ejakulasi bagi laki-laki, lubrikasi dan keterangsangan
bagi wanita). Sesudahnya tak ada ketenangan hati dan ketenteraman jiwa saat
menjalani kehidupan bersama dalam rumah tangga, saat mendidik anak, dan saat
memperjuangkan komitmen kehidupan. Atau barangkali hal-hal semacam ini sudah
tidak mengusik hati, karena keresahan jiwa sudah menjadikan mereka sibuk terhadap
kenikmatan-kenikmatan periferal (semu).
Ketika jima’ hanya merupakan peristiwa biologis yang cuma memberi
kenikmatan inzal, sedang mereka tak menemukan kenikmatan lain yang lebih
menyentuh rasa kemanusiaan (jangan bicara yang lebih tinggi dulu), maka hari ini
kita saksikan orang sibuk membicarakan seks, seks, dan seks tanpa beranjak dari pola
pembahasan yang hampir semuanya cenderung menekankan kepada aspek fisik. LagiKado
Pernikahan 238
lagi tidak menyentuh kepada aspek jiwa. Setiap hari orang sibuk berbicara tentang
seks. Media massa memberi porsi yang besar terhadap seks; seks di rumah, seks di
kantor, dan menyegarkan kembali hubungan seks dengan istri (masih untung kalau
begini) melalui perpindahan tempat. Mereka sibuk menawarkan cara, misalnya
suami-istri bepergian ke satu hotel dan melakukan hubungan seks di sana, tanpa
mendengar keceriaan tawa anak-anak yang mengganggu.
Pada saat yang sama, manusia juga disibukkan untuk mempercantik diri.
Sebagian dari mereka disibukkan dengan obsesi untuk melakukan rekayasa
kecantikan demi mempertahankan daya tarik seks mereka di hadapan suami. Kita
pernah membaca di media massa, sebagian di antara mereka melakukan operasi
plastik untuk memancungkan hidung dan memontokkan payudara. Di antaranya
berakhir dengan tragis; hidung yang patah, pembusukan payudara, kerusakan wajah
akibat kosmetik yang berlebihan.
Ini adalah ironi kemanusiaan. Di saat manusia semakin “terdidik”, mereka justru
mengalami kemerosotan dalam kehidupan psikisnya. Mereka terjebak pada aspek
fisik yang sangat zahir, sehingga keelokan rupa yang menjadi perhatian utama (dan
karena itu cepat membosankan). Padahal sesungguhnya, ada yang lebih berarti.
Adakalanya orang aktif secara seksual, tetapi mereka tidak menemukan
kesejukan dalam rumahnya. Rumah berhenti sebagai bangunan yang beratap dan
berpintu. Mereka aktif bertasabbub, istri melahirkan anak hampir setiap dua tahun
sekali (kadang malah tidak sampai dua tahun), anak mereka sampai lebih dari lima
orang, tetapi tak ada kedamaian di rumah. Hubungan antara suami dan istri tidak
akrab, apalagi mesra (kecuali saat berjima’).
Ini berarti, ada yang lebih indah dari jima’. Keindahan di luar jima’ ini memang
bisa semakin menyempurnakan keindahan dan kenikmatan jima’. Tetapi keindahan
itu bukan terletak pada tercapainya inzal saat berjima’. Ada kesenangan hidup dalam
rumah tangga (semoga Allah memberikan kesenangan itu kepada keluarga kita). Dan
kesenangan itu bukan terletak pada kecantikan wajah --yang membuat sebagian orang
merasa cemas dan dilanda ketakutan ketika usia mendekati 40 tahun.
Kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, “Allah menjadikan penyebab kesenangan
adalah keberadaan istri. Andaikata penyebab tumbuhnya cinta adalah rupa yang elok,
tentunya yang tidak memiliki keelokan tidak akan dianggap baik sama sekali.
Kadangkala kita mendapatkan orang yang lebih memilih pasangan yang lebih buruk
rupanya, padahal dia juga mengakui keelokan yang lain. Meski begitu tidak ada
kendala apa-apa di dalam hatinya. Karena kecocokan akhlak merupakan sesuatu yang
paling disukai manusia, dengan begitu kita tahu bahwa inilah yang paling penting dari
segala-galanya. Memang bisa saja cinta tumbuh karena sebab-sebab tertentu. Tetapi
cinta itu akan cepat lenyap dengan lenyapnya sebab.”
Keberadaan istri (atau suami) itulah yang lebih indah daripada jima’ atau
memandangi kecantikan wajah istri yang tidak terhalangi oleh bedak tebal. Sekalipun
demikian, seorang istri perlu menjaga suaminya agar tidak tergoda oleh kecantikan
Kado Pernikahan 239
wanita lain. Ini dilakukan dengan dua hal, setidaknya baru ini yang saya ketahui.
Pertama, melayani dengan penuh kehangatan (syukur jika mau mengingatkan suami
tentang hal ini) jika suami harus pulang mendadak karena tergoda oleh kecantikan
wanita di perjalanan. Kedua, tidak menceritakan kecantikan wanita lain seolah-olah
suami melihat sendiri. Apalagi imajinasi sering memberi kesan yang lebih kuat
dibanding melihat secara langsung (selengkapnya baca bab Biarlah Engkau yang
Tercantik Di Hatiku di jendela tiga buku ini).
Anda bisa memberi izin atau bahkan menganjurkan suami untuk matsna
(menikah lagi untuk yang kedua kali) dengan wanita lain secara sah sehingga bisa
menjadi teman untuk berjuang bersama-sama dengan Anda. Tetapi Anda tidak bisa
memberinya izin untuk membayangkan wanita lain. Anda perlu menjaganya
(disamping suami juga perlu menjaga dirinya sendiri).
Di sinilah keunikan agama kita sekaligus menunjukkan kesempurnaannya dalam
mengatur setiap sisi kehidupan kita. Ada wasilah (perantara), ada ghoyah (tujuan).
Kita hendaknya tidak terjebak pada wasilah sehingga melupakan ghoyah. Tetapi kita
juga sebaiknya tidak melupakan wasilah karena memandang ghoyah.1
Maka mudah-mudahan kita bisa mengikhtiarkan agar keberadaan kita
mempunyai makna bagi teman hidup kita. Jika kehadiran kita tidak bisa dirasakan
maknanya oleh teman hidup kita, maka keluarga akan runyam. Akan terasakan
kekeringan atau kegersangan komunikasi dan selanjutnya membuat jiwa merasa lapar
jika terlalu lama berlangsung. Hubungan dalam keluarga terasa beku tanpa
kehangatan. Hubungan dalam keluarga lebih bersifat peran-peran atau tugas-tugas. Ini
dapat menegangkan. Apalagi kalau sampai terjadi keadaan di mana adanya kita lebih
buruk daripada tidak adanya, maka dapat dibayangkan bagaimana suasana dalam
keluarga itu (naudzubillahi min dzalik).
Saya ingin melanjutkan pembahasan mengenai masalah ini. Tetapi sebelum itu,
marilah kita berhenti sejenak untuk memohon barakah kepada Allah Yang Maha
Pengasih atas keluarga kita, pernikahan kita, dan atas diri kita. Mudah-mudahan Allah
mengampuni kekeliruan kita.
Ketika pernikahan kita barakah (ya Allah, barakahilah pernikahan kami dan
ampunilah kesalahannya), maka kehadiran kita sangat berarti bagi teman hidup kita.
Kehadiran Fathimah Az-Zahra bagi suaminya, Sayyidina Ali karamallahu wajhahu
adalah gambaran paling mempesona. Saya sangat terkesan dengan keindahan
pernikahan mereka, sehingga ingin menuliskan sekali lagi komentar Sayyidina Ali
tentang istrinya. Kata Sayyidina Ali, “Ketika aku memandangnya, hilanglah
kesusahan dan kesedihanku.”
Ah, seandainya para istri seperti Fathimatuz Zahra, maka akan lahir kekuatan
yang sangat besar melalui suami dan anak-anak yang dilahirkan. Suami tidak keder
ketika harus menghadapi benturan di luar. Suami menjadi tegar ketika harus
menegakkan kepala di luar rumah. Suami berani menanggung rasa sakit karena ketika
di rumah, ia temukan surga yang memberi kedamaian. Bukan keadaan yang
Kado Pernikahan 240
mencekam karena harus menghadapi tuntutan istri yang tidak pernah puas dengan
rezeki suaminya.
Ya Allah, kami sambat kepada-Mu, penuhilah keluarga kami dengan barakah-
Mu. Jadikanlah istri-istri kami sebagai penyejuk mata. Karuniakanlah kepada kami
keturunan yang menyejukkan mata dan menjadi imam orang yang bertakwa.
Jika jalinan perasaan tumbuh subur di ladang keluarga kita, maka perasaan kita
akan mengharap kehadiran teman hidup kita ketika ia sedang jauh dari kita. Di sinilah
keindahan yang lebih mulia insya-Allah akan terbentuk. Suami-istri akan merasa
bermakna dan mengalami keterpenuhan jiwa kita ia merasa ada yang mencintai dan
merindukannya; ada yang menggelisahkan dirinya kalau sesuatu yang kurang
mengenakkan terjadi.
Jalaluddin Rakhmat memberi gambaran indah dalam khothbahnya. Ia
mengingatkan kedua mempelai dengan uraian singkat. Kata Jalaluddin Rakhmat,
“Dahulu Anda adalah manusia bebas yang boleh pergi sesuka Anda. Tetapi, sejak
pagi ini, bila Anda belum juga pulang setelah larut malam, di rumah Anda ada
seorang wanita yang tidak bisa tidur karena mencemaskan Anda. Kini, bila berharihari
Anda tidak pulang tanpa berita, di kamar Anda ada seorang perempuan lembut
yang akan membasahi bantalnya dengan linangan air mata. Dahulu, bila Anda
mendapat musibah, Anda hanya mendapat ucapan “turut berduka cita” dari sahabatsahabat
Anda. Tetapi kini, seorang istri akan bersedia mengorbankan apa saja agar
Anda meraih kembali kebahagiaan Anda. Anda sekarang mempunyai kekasih yang
diciptakan Allah untuk berbagi suka dan duka dengan Anda.”
Perasaan ada yang menerima, ada yang mencintai dengan tulus, ada yang
memperhatikan dan tidak menginginkan kemarahannya, serta perasaan ada yang
mengharapkannya menjadi baik secara tulus dan ikhlas, jauh lebih indah daripada
kehangatan tubuh dan keharuman pipi saat berjima’. Inilah yang dirindukan manusia
dalam pernikahan.
Saya jadi teringat kepada salah satu nasehat Rasulullah. Dari Anas bin Malik r.a.
berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Tidakkah kalian mau saya beritahu tentang
wanita ahli surga?” Kami berkata, “Tentu ya Rasulullah.” Rasulullah Saw. bersabda,
“Setiap istri yang wadud (sayang) dan walud (banyak anak). Apabila ia membuat
marah suami atau menyakiti hatinya atau suami marah kepadanya, ia berkata,
‘Inilah tanganku berada di tanganmu. Saya sungguh tidak bisa menikmati tidur dan
istirahat sehingga engkau ridha kembali.”
Ketika suami mendengar perkataan yang tulus dari istrinya, maka kekerasan
hatinya insya-Allah akan luluh. Kemarahannya akan reda dan berganti dengan
perasaan rahmah dan ingin melindungi. Api akan padam ketika berhadapan dengan
air. Tetapi akan berkobar ketika dihembus angin, kecuali ketika apinya masih kecil.
Kado Pernikahan 241
---
Perasaan ada yang menerima,
ada yang mencintai dengan tulus,
ada yang memperhatikan
dan tidak menginginkan kemarahannya,
jauh lebih indah daripada kehangatan saat berjima’.
Inilah yang dirindukan manusia dalam pernikahan.
---
Maka di sinilah kita perlu belajar. Ketika ada yang meluap emosi negatifnya,
salah satu pihak perlu menahan diri. Ia perlu menjadi air. Kalau keduanya tidak ada
yang bersedia untuk berendah hati mendengar kemarahan dan kekesalan
pasangannya, yang terjadi adalah pertengkaran dan perseteruan. Kalau terus berlanjut,
keduanya bisa mengembangkan sikap mempersalahkan teman hidupnya. Dialah yang
harus begini atau begitu.
Sebaliknya, kelapangan hati untuk meredam emosi insya-Allah akan membawa
kepada kebaikan. Kelembutan akan membawa kepada keindahan dan tegaknya sikap
yang seharusnya. Insya-Allah. Kelembutan akan mencairkan hati yang beku dan
melunakkan gunung yang keras. Setelah kemarahan reda, keduanya bisa melakukan
ishlah. Anda bisa mengoreksi secara bijak. Insya-Allah teman hidup Anda akan lebih
mudah menerima. Lebih bisa menyadari jika memang ada kesalahan yang harus
diperbaiki.
Kita mungkin tidak bisa meniru kelapangan hati Rasulullah Saw.. Tetapi ada
baiknya kita mengingat bagaimana reaksi Rasulullah menghadapi kemarahan Aisyah,
istri beliau yang tercinta. Suatu ketika Aisyah pernah marah kepada beliau. Aisyah
berkata, “Engkau ini hanya mengaku-aku saja sebagai Nabi.” Rasulullah yang mulia
hanya tersenyum menghadapi hal itu dengan penuh kesabaran dan keagungan.
Jika suami-istri dapat saling meredakan hati yang bergejolak, maka kehadiran
seorang istri akan lebih bermakna bagi suami. Begitu juga, istri akan merasakan
ketenteraman dan kebahagiaan dengan hadirnya suami di rumah. Sekedar hadir saja.
Tak lebih dari itu. Barangkali hanya untuk duduk-duduk bersama dan bercanda.
Sesuatu yang kelihatan tidak penting dan tidak bermanfaat. Tetapi adakalanya jiwa
kita merindukan saat-saat seperti itu. Anak-anak kadang juga menunggu-nunggu
kesempatan semacam itu. Ketika kebutuhan jiwa itu tak terpenuhi, kadang anak
menderita sakit. Bukan karena ada gangguan fisik, tetapi semata sebagai reaksi
somatis atas kebutuhan jiwanya.
Ah. Kalau berbicara seperti ini saya jadi teringat kepada kehidupan rumah tangga
Rasulullah (kita bisa meniru nggak, ya?). Rasulullah adalah seorang pemimpin besar,
panglima militer yang besar dan sekaligus tokoh panutan masyarakat yang terbesar
Kado Pernikahan 242
sampai zaman ini. Rasulullah juga seorang manusia yang memiliki kesibukan luar
biasa untuk berbagai keperluan, sejak dari melayani masyarakat sampai dengan
mencari ma’isyah (penghidupan keluarga). Tetapi beliau masih sempat bercanda
dengan istri-istrinya dengan canda yang mungkin tidak akan dilakukan oleh seorang
pemimpin tingkat kabupaten.
Pernah Rasulullah mengajak istrinya, Aisyah, untuk berlomba lari dengannya.
Rasulullah kalah. Lain kali Rasulullah kembali mengajak Aisyah berlomba lari dan
Rasulullah memenangkannya sehingga beliau tertawa seraya berkata, “Ini pembalasan
yang dulu.” Begitu Imam Ahmad dan Abu Dawud menceritakan dalam hadisnya.
Kata Muhammad Abdul Halim Hamid, hadis ini shahih.
Rasulullah juga menunjukkan perhatian dan kemesraan kepada Aisyah ketika
meminum. Rasulullah meminum dari gelas yang sama dengan Aisyah dan meminum
di bekas tempat Aisyah meminum. Begitu yang diceritakan Imam Muslim dalam
hadisnya.
Begitu juga ketika mandi bersama, kadang Rasulullah menunjukkan candanya.
Bercanda dengan istri atau suami insya-Allah membawa kepada kebaikan dan
langgengnya perasaan cinta antara keduanya. Agama ini bahkan menilai canda suamiistri
sebagai tindakan di luar dzikrullah yang tidak termasuk kesia-siaan.
Rasulullah Saw. bersabda, “Segala sesuatu selain dzikrullah itu permainan dan
kesia-siaan, kecuali terhadap empat hal; yaitu seorang suami yang mencandai
istrinya, seseorang yang melatih kudanya, seseorang yang berjalan menuju dua
sasaran (dalam permainan panah, termasuk juga dalam berlomba), dan seseorang
yang berlatih renang.” (HR. An-Nasa’i. Shahih, kata Muhammad Abdul Halim
Hamid).
Begitu dekatnya hubungan Rasulullah dengan istrinya, sehingga beliau dapat
mengenali kapan Aisyah marah dan kapan Aisyah ridha hanya dari perbedaan diksi
ketika berbicara kepada Rasulullah. Padahal Aisyah tidak menampak-nampakkan
emosinya.
Ketika rumah diwarnai dengan kehangatan, penerimaan, perhatian, dan kasihsayang,
maka ia menjadi surga bagi penghuninya. Rumah tidak sekedar bangunan
kokoh dari batu bata dan semen. Rumah memberi arti kedamaian dan keteduhan
psikis. Dan ini lebih indah dari sekedar kenikmatan hubungan seks berhenti sebagai
peristiwa biologis semata-semata. Jika hubungan seks tidak berhenti sebagai peristiwa
biologis semata-semata, ada keindahan yang lebih dari itu.
“Banyak orang yakin bahwa ekspresi yang ada dalam pandangan seseorang
dapat mengungkapkan isi hati seseorang,” kata Ruqayyah, “Pasti, pandangan
kekasih adalah hal yang paling menyenangkan dan menenteramkan. Banyak kaum
istri yang mendambakan pandangan semacam itu, sekalipun mereka sudah menikah
selama bertahun-tahun.”
“Jika Anda tak dapat membuat diri Anda untuk memandang dan memperhatikan
istri Anda,” kata Ruqayyah lebih lanjut, “maka baginya itu adalah tanda bahwa Anda
Kado Pernikahan 243
tak benar-benar mencintainya. Walaupun tidak menyenangkan dan tampak
berlebihan, banyak wanita merasa tersentuh sekali jika seorang laki-laki benar-benar
mengucapkan bahwa ia mencintainya.”
Rasulullah kadang memanggil Aisyah dengan sebutan humaira’ (wanita yang
pipinya bersemu merah). Ini merupakan panggilan mesra seorang suami kepada
istrinya. Bagaimana dengan kita?
Ungkapan cinta merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi seorang istri.
Mungkin Anda benar-benar mencintainya. Meskipun demikian, jika tidak pernah
Anda ungkapkan melalui kata-kata mesra ketika tidak sedang berjima’, cinta itu bisa
terasa hambar baginya. Begitu juga pandangan mata.
Kebutuhan untuk mendengar dan didengarkan merupakan sesuatu yang penting,
termasuk mendengar perkataan cinta suaminya. Manusia mempunyai kebutuhan
untuk itu.
Seorang istri mempunyai kebutuhan untuk didengar perasaannya. Ia butuh ada
orang yang mau menerima ceritanya, tentang kelelahannya, tentang kecemasannya
menunggu Anda, dan isyarat-isyarat yang diberikannya.
Suami adakalanya tidak bisa mendengarkan ungkapan perasaan istri
sebagaimana yang diharapkan. Ketika istri bercerita tentang betapa capeknya ia hari
itu dengan mencuci popok yang bertumpuk dan anaknya yang cerewet (atau cerdas?),
suami segera menanggapinya sebagai persoalan yang perlu segera diselesaikan agar
tidak menjadi masalah. Yang terjadi kemudian, istri justru jengkel. Persoalan ini
terlalu sepele untuk didiskusikan. Yang ia butuhkan adalah kekasih yang mau
mendengarkan. Mendengar inilah yang berharga. Bukan pembahasan mengenai
masalah yang disampaikan.
“Keunikan” istri yang semacam ini kadang membingungkan suami. Padahal,
suami juga mempunyai sikap serupa. Hanya obyeknya yang berbeda. Lihat saja
bagaimana para bapak yang baru selesai menyaksikan siaran langsung sepak bola.
Mereka sibuk membicarakan tendangan pemain dari kesebelasan favoritnya dengan
rekan-rekannya yang juga menyaksikan, semeja lagi. Mereka membicarakan, kalau
mau jujur, bukan untuk memberi informasi karena mereka sudah sama-sama tahu.
Mereka juga tidak mendiskusikan untuk memperoleh pemecahan masalah karena
mereka tidak memiliki kompetensi untuk membicarakan. Mereka membicarakan
pertandingan sepak bola yang baru saja selesai sebagai luapan perasaan yang butuh
disampaikan dan butuh ada yang mau mendengarkan.
Lain istri, lain pula suami. Di tempat kerja, banyak laki-laki yang lebih suka
memecahkan masalahnya seorang diri, dan membicarakan hanya kepada orang-orang
yang sarannya benar-benar ia butuhkan, kata Ruqayyah. Sebagian orang lebih suka
menjauhkan diri untuk sementara waktu dari permasalahan, dan kembali lagi nanti.
Ketika mereka tiba di rumah, kadang-kadang mereka ingin menyepi --dan inilah yang
tidak diketahui dan kurang dihargai oleh banyak istri.
Kado Pernikahan 244
“Sebagian kaum istri kurang pandai menangani kebutuhan suami untuk
mendapatkan kedamaian dan ketenangan,” kata Ruqayyah Waris Maqsood, “Secara
naluriah mereka merasakan ketegangan itu, dan bereaksi dengan mendesak suami
untuk diberitahu semuanya. Mungkin suami merasa malu dan tidak enak bila istri
mengetahui hal tersebut, dan mungkin ia tidak ingin membicarakannya dengan
istrinya. Ia ingin menjaga istrinya dan rumahnya sebagai tempat berlindung dari
semua persoalan. Apalagi menceritakan seluk-beluk masalah itu kepada istri akan
memakan waktu terlalu lama dan ia tidak ingin menyia-nyiakan waktu malamnya.2
Di sinilah kadang timbul persoalan. Apalagi kalau istri membiarkan sikap curiga
tumbuh dalam hatinya. Konflik bisa muncul, meskipun bersifat internal. Istri merasa
suami tidak mencintainya. Istri merasa suami tidak mempercayainya. Padahal
persoalannya adalah pada bagaimana istri menghadapi suaminya. Jika suami
memperoleh dukungan psikis yang menjadikannya menemukan ketenangan, suami
akan dapat menceritakan kepada istri tanpa perasaan terbebani. Sikap Khadijah binti
Khuwailid ketika suaminya pulang dengan wajah pucat sehabis memperoleh wahyu,
barangkali dapat menjadi pelajaran bagi para istri. Selengkapnya bisa Anda baca
sendiri pada buku-buku yang berbicara tentang kehidupan Khadijah r.a., sirah
Nabawiyah, atau tentang keluarga Nabi Saw..
Ketika istri mampu mendampingi dan memberikan perhatian yang ikhlas, maka
suami merasakan kekuatan psikis dan dorongan semangat yang luar biasa. Inilah yang
ada pada diri Khadijah, terutama ketika Rasulullah Saw. berada pada masa-masa sulit.
Karena itu, tidaklah berlebihan jika kedudukan Khadijah di hati Rasulullah tak bisa
digantikan oleh siapa pun, termasuk oleh Aisyah yang usianya jauh lebih muda.
Padahal, ketika itu Khadijah telah lama meninggal dunia.
Muhammad Utsman Al-Khasyat pernah menulis, “Tindakan logis yang
dilakukan oleh setiap wanita yang berpikir cemerlang sewaktu berada di samping
suaminya adalah membantunya dengan kata-kata yang baik, memberikan senyuman
yang memotivasi, dan mendorongnya terus-menerus untuk merealisasikan semua
tujuan yang diharapkan. Setiap keberhasilan yang diraih bukanlah milik sendiri,
melainkan milik mereka berdua.”
Mendengarkan dan didengarkan secara tulus inilah sesuatu yang sangat berharga,
disamping keberadaan istri. Ada saat-saat di mana kita sebenarnya butuh untuk saling
berbicara, apa saja, dengan teman hidup kita. Seperti bercanda dengan istri, yang
terpenting bukanlah isi dari canda itu melainkan kesempatan untuk bercanda itulah
yang membukakan katup-katup hati. Begitu juga dengan berbicara antara suami-istri,
ada saat-saat di mana yang terpenting adalah kesempatan berbicara itu sendiri. Bukan
isi pembicaraannya. Keakraban dan perasaan dicintai ketika berbicara itulah yang
lebih berharga daripada tema-tema yang dibicarakan. Inilah yang disebut healthy
communication climate (suasana komunikasi yang sehat).
Pada masa sekarang, orang kadang membutuhkan waktu khusus untuk pergi
meninggalkan keluarga dan menikmati kebersamaan berdua di tempat yang jauh dari
hiruk pikuk keluarga. Mereka ingin mengulang bulan madunya dengan merencanakan
Kado Pernikahan 245
secara khusus acara yang memungkinkan mereka berbicara apa saja di luar kesibukan
sehari-hari.
Sebenarnya, insya-Allah kita tidak perlu sampai menyediakan waktu khusus
untuk melakukan revitalisasi perkawinan dengan meninggalkan anak-anak di rumah.
Ada waktu-waktu yang jika kita memanfaatkannya, insya-Allah jiwa kita akan
menemukan apa yang dibutuhkan. Hubungan perasaan antara suami dan istri dapat
terjaga. Waktu itu misalnya ba’da Dzuhur.
Tengah hari sehabis shalat Dzuhur, suami-istri bisa menutup pintu kamarnya.
Mungkin ber-qailulah (tidur siang) bersama. Mungkin juga “sekedar” (apa sih yang
sekedar?) untuk berbicara apa saja, tanpa harus ada tema. Mungkin juga sekali waktu
saling merayu dan memberikan pujian yang membesarkan hati. Atau mungkin
bercakap-cakap tanpa kata; saling memperhatikan tanpa banyak mengucapkan katakata
karena mata sudah berbicara banyak. Bisa juga mereka melakukan keintiman
fisik tanpa melakukan jima’.
Wallahu A’lam bishawab.
Ada lagi yang insya-Allah lebih indah dari jima’: kepercayaan. Perasaan bahwa
istri atau suami memberikan kepercayaan merupakan sesuatu yang sangat berharga.
Perasaan memiliki kepercayaan terhadap teman hidup, juga sangat berharga. Ketika
rasa percaya itu ada, suami tidak khawatir ketika meninggalkan istrinya di rumah.
Dan ini termasuk salah satu dari tiga kebahagiaan seorang laki-laki.
Rasulullah Saw. bersabda, “Tiga kunci kebahagiaan seorang laki-laki adalah istri
shalihah yang jika dipandang membuatmu semakin sayang dan jika kamu pergi
membuatmu merasa aman, dia bisa menjaga kehormatan dirinya dan hartamu;
kendaraan yang baik yang bisa mengantar kema-na kamu pergi; dan rumah yang
damai yang penuh kasih-sayang. Tiga perkara yang membuatnya sengsara adalah istri
yang tidak membuatmu bahagia jika dipandang dan tidak bisa menjaga lidahnya juga
tidak membuatmu merasa aman jika kamu pergi karena tidak bisa menjaga
kehormatan diri dan hartamu; kendaraan rusak yang jika dipakai hanya membuatmu
lelah namun jika kamu tinggalkan tidak bisa mengantarmu pergi; rumah yang sempit
yang tidak kamu temukan kedamaian di dalamnya.”
Proses menuju pernikahan banyak memberi pengaruh terhadap seberapa jauh
masing-masing memiliki kepercayaan dan merasa mendapatkan kepercayaan dari
orang yang dicintai. Selengkapnya, bisa Anda renungkan kembali bab terdahulu Di
Manakah Wanita-wanita Barakah Itu....
Selain kepercayaan, mendengarkan dan didengarkan, serta perasaan diterima dan
didukung, perhatian dan kelembutan merupakan sesuatu yang berharga. Keintiman
fisik sebagai salah satu bentuk kebersamaan di luar jima’, juga dibutuhkan.
Kedekatan fisik atau mungkin sampai membawa mereka kepada permainan dan
cumbuan, dapat dilakukan misalnya ketika menghabiskan waktu aurat. Pada saat ini
masing-masing bisa beristirahat dengan melepaskan pakaian luar. Selebihnya mereka
Kado Pernikahan 246
bisa saling memandang dan saling menyentuh. Tidak lebih. Kecuali jika Anda
memang ingin melanjutkan ke hubungan seks.
Akhirnya, kata Ruqayyah, sedikit “sentuhan” tambahan sebenarnya dapat
memperlancar hubungan. Rasulullah Saw. bersabda, “Menyuapkan sedikit makanan
ke dalam mulut istri adalah sedekah.” (Bukhari dan Muslim). Ini menunjukkan jenis
kelembutan yang harus hadir dalam keluarga Muslim. Remasan, rangkulan, sentuhan
tangan, cubitan kecil di pipi, hadiah kecil yang menunjukkan Anda mengingat istri
selama bekerja --semua itu merupakan sarana penghantar cinta Anda kepada istri.
Begitu Ruqayyah menjelaskan.
Kelak ketika Allah telah menganugerahkan seorang anak dalam pernikahan kita,
keindahan itu semakin sempurna jika orangtua memiliki misi terhadap anaknya dan
mampu membina hubungan yang serasi dengan anaknya. Tanpa itu, kita bisa
mengalami kebosanan selama berada di rumah. Yuni Nur Kayati, seorang ibu
berputera satu menulis di dalam bukunya Anakku, Dengarlah Ibu Ingin Bicara
tentang masalah ini. Kata Yuni, “Menjalani rutinitas sehari-hari di rumah akan
menjadi suatu yang membosankan jika kita tidak mampu memaknainya. Untuk itu,
kesadaran bahwa ini adalah salah satu bentuk ibadah kepada Allah sangat penting.
Dan kita akan menjalankan dengan perasaan bahagia.”
Demikian.
Keindahan tak sekedar “itu”. Tak sekedar jima’. Mudah-mudahan keindahan ini
ada dalam keluarga kita. Mudah-mudahan Allah membarakahi.
Allahumma amin.
Catatan Kaki:
1. Wasilah dalam konteks ini dapat dipahami sebagai perantara, kenikmatan
perantara untuk tercapai kenikmatan yang lebih besar, cara yang
mengantarkan orang kepada tujuan, sesuatu yang memperantarai atau
menjadi mediator tercapai kenikmatan atau kemaslahatan yang besar.
Ghoyah adalah tujuan, kenikmatan yang lebih prinsipil dan lebih langgeng,
lebih menjamin keharmonisan, sesuatu yang memiliki nilai yang lebih
mendasar, kebahagiaan akhir.
Kecantikan wajah dapat menjadikan orang senang. Ini merupakan wasilah.
Tetapi ini bukan ghoyah. Kecantikan dapat menjadikan hubungan seks lebih
indah dan menyenangkan. Mempercantik diri demi membahagiakan suami
merupakan perbuatan sunnah. Ini dapat menjadikan suami lebih dalam
cintanya. Tetapi istri hendaknya tidak melulu disibukkan dengan berhias.
Demikian juga suami hendaknya tidak hanya menyibukkan perhatian
terhadap kecantikan istrinya. Pada saat yang sama istri harus membentengi
Kado Pernikahan 247
suami dari keterjebakan terhadap kecantikan wanita lain. Begitu
rangkaiannya. Prinsip semacam ini juga kita jumpai dalam masalah-masalah
lain. Secara umum ini dijabarkan melalui prinsip-prinsip fiqih.
2. Baca kembali Saat-saat yang Tepat pada bab sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar