Senin, 18 Maret 2013

BAB 17 Komunikasi Kita dan Pendidikan Anak



Sekitar dua puluh menit pertama kuliah psikiatri, biasanya dosen memberi
kesempatan pada kami untuk mewawancarai pasien gangguan jiwa yang
dihadirkan di depan kelas. Ini sangat penting bagi mahasiswa agar bisa
memahami isi perkuliahan dengan lebih baik, sehingga nantinya ia bisa lebih mudah
mengenali simptom-simptom1 gangguan jiwa sebagai bekal untuk menentukan jenis
gangguan jiwa yang dialami dan bentuk terapi yang harus diberikan.
Peserta kuliah umumnya tertarik dengan sesi ini. Mereka bertanya kepada pasien
dengan penuh rasa ingin tahu. Banyak yang mereka tanyakan. Satu selesai memberi
perta-nyaan, peserta lain segera menyampaikan pertanyaan. Jika peserta kuliah
kebingungan mau bertanya apa, Pak Soewadi yang mengajar psikiatri memancing
pertanyaan-pertanyaan dengan menunjukkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa
ditanyakan.
Jika rekan-rekan peserta kuliah lainnya antusias bertanya, saya sebaliknya. Saya
sering merasa tidak tega melihat pasien yang duduk di hadapan kami semua.
Barangkali saya memang tidak berbakat menjadi terapis, tetapi pikiran saya biasanya
berkecamuk oleh pertanyaan-pertanyaan, misalnya mengapa anak gadis yang cantik
dan cerdas itu sampai perlu mendapatkan perawatan jiwa? Mengapa peristiwa tidak
naik kelas dapat menjadi pemicu munculnya gangguan jiwa yang secara umum orang
menyebutnya gila --istilah sederhana untuk menyebut berbagai macam gangguan
jiwa.
Menurut pandangan psikologi, gangguan jiwa tidak datang tiba-tiba. Ia
merupakan hasil dari proses hidup yang panjang. Apa yang sering kita sebut sebagai
penyebab terjadinya gangguan jiwa sebenarnya hanya merupakan peristiwa pemicu.
S
Kado Pernikahan 274
Ibarat kita meniup balon anak-anak sampai menggelembung keras sekali, begitu
berbenturan dengan ranting pohon sedikit saja sudah menyebabkan balon meletus.
Apa yang menyebabkan balon itu meletus? Bukan terbenturnya ia dengan ranting
pohon, tetapi tiupan kita yang menjadikan balon menggelembung sedemikian besar
dan keras. Benturan dengan ranting hanya peristiwa pemicu.
Jadi, tidak ada orang gila karena putus cinta. Juga tidak ada orang yang harus
menjadi gila karena kehilangan jabatan. Yang ada adalah orang dengan keadaan jiwa
yang sudah rapuh, sudah rawan, struktur mentalnya sudah kurang bagus dan
kemudian mengalami peristiwa yang mengguncangkan sebagai pemicu munculnya
gangguan jiwa.
Persoalannya, apa yang menyebabkan seseorang memiliki jiwa yang rapuh?
Apakah karena mereka banyak menghadapi pengalaman-pengalaman pahit? Apakah
karena mereka sering dihadapkan pada kegagalan demi kegagalan? Ataukah, mereka
memang memiliki mental bawaan yang labil?
---
sebagian besar pelaku bunuh diri
adalah perempuan
yang memiliki sifat manja
---
Tidak demikian persoalannya. Banyak orang yang sering mengalami kegagalan,
ditimpa berbagai pengalaman pahit, serta mengalami kegetiran demi kegetiran. Akan
tetapi mereka mampu menjadi manusia yang besar dan membawa kebaikan bagi umat
manusia sepanjang sejarah. Tidak jarang orang merasa bersyukur dengan pengalaman
masa lalunya yang sulit karena dianggapnya sebagai proses penempaan diri yang
bagus. Sebaliknya, orang-orang yang pengalamannya manis-manis saja, harus
terjungkal begitu menemui persoalan yang tak seberapa besar.
Perbedaan mereka yang tangguh dan yang rapuh adalah pada penghayatan
mereka terhadap peristiwa yang mereka alami. Lantaran bab ini bukan membicarakan
kesehatan mental, maka izinkan saya untuk mengajak Anda melihatnya dari sisi
pendidikan anak, khususnya bagaimana komunikasi kita sehari-hari mempengaruhi
pendidikan anak.
Sebelum berbicara lebih jauh, cerita berikut sebaiknya Anda simak.
Prof. Dr. dr. Hernomo Ontoseno Koesoemobroto, Kabag SPK (Sentra
Pengobatan Keracunan) IRD RSUD dr. Soetomo Surabaya mengungkapkan hasil
sebuah penelitian yang dilakukan oleh lembaga yang dipimpinnya. Menurut
Hernomo, sebagian besar pelaku bunuh diri yang dikirimkan ke IRD SPK adalah
perempuan yang memiliki sifat manja (ngaleman dalam bahasa Jawa). Artinya,
pada masa hidupnya mereka itu sangat manja kepada orangtuanya, terutama
kepada ibunya.
Kado Pernikahan 275
“Untuk itu, ibu-ibu yang memiliki anak perempuan aleman memang harus
memperlakukannya ekstra hati-hati,” kata Hernomo sebagaimana diberitakan oleh
harian Jawa Pos, 23 Januari 1998.
Apa yang menyebabkan anak manja? Banyak yang salah paham. Manja sering
dihubungkan dengan kasih-sayang berlebihan, sehingga membuat para orangtua
berhati-hati dalam memberikan kasih-sayang (untuk tidak menyebut kurang sayang).
Mereka bersikap keras pada anak, padahal sikap keras ini bisa menyebabkan mental
anak kurang kokoh.
Manja sebenarnya tidak berhubungan dengan banyak sedikitnya kasih-sayang
yang diterima anak. Al-Hasan dan Al-Husain adalah anak yang banyak memperoleh
kasih-sayang, dari orangtua maupun kakeknya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Tidak ada orang yang menyayangi anak seperti Rasulullah, sampai harus
merangkak kuda-kudaan dengan anak, menjulurkan lidah untuk bercanda ataupun
memanjangkan sujud demi kenyamanan cucunya ketika menaiki lehernya di saat
bersujud. Tetapi kita semua melihat, mereka berdua tidak menjadi pribadi yang
manja. Bahkan sebaliknya mereka menjadi pahlawan-pahlawan yang rela ditebas
lehernya dengan keharuman syuhada. Mereka tidak menjadi orang yang manja dan
cengeng.
Ketika ada yang merenggut anak secara kasar dari gendongan Rasulullah karena
pipis, Rasulullah bahkan menegur, “Pakaian yang basah ini dapat dibersihkan dengan
air, tetapi apa yang dapat menghilangkan kekeruhan dalam jiwa anak akibat
renggutanmu yang kasar?”
Sepanjang yang saya ketahui, sikap manja lebih banyak berhubungan dengan
komunikasi kita kepada anak. Secara sederhana, kita dapat membagi komunikasi ini
ke dalam dua macam, yaitu komunikasi kepada anak dan komunikasi bersama anak.
Komunikasi kepada anak, maksudnya adalah bagaimana orangtua berbicara
kepada anak, menyatakan maksud dan nasehat kepada anak, serta mendiskusikan
sesuatu dengan anak. Termasuk dalam kategori komunikasi kepada anak antara lain
menyuruh, melarang, menganjurkan, menceritakan sesuatu, serta bentuk-bentuk
komunikasi lainnya yang secara langsung ditujukan kepada anak dan diungkapkan
secara langsung kepada anak. Tulisan dan seminar-seminar tentang komunikasi
orangtua dan anak umumnya hanya membicarakan komunikasi jenis ini.
---
Akibat peristiwa itu pun
akhirnya berbeda-beda bagi tiap anak.
Apa yang membedakan?
Ungkapan spontan
masing-masing orangtua
---
Kado Pernikahan 276
Komunikasi bersama anak, maksudnya adalah segala bentuk perilaku
komunikasi kita yang tidak kita tujukan kepada anak, akan tetapi anak dapat
menangkap dan mendengarnya. Kalau Anda berbicara dengan suami Anda dengan
cara yang manja merajuk-rajuk dan anak melihat perilaku komunikasi Anda itu, maka
anak menerimanya sebagai proses belajar dan secara otomatis ia mempersepsi apa
yang ia lihat, dengar, dan rasa.
Bab ini akan membicarakan lebih jauh masalah komunikasi bersama anak.
Secara lebih khusus insya-Allah akan menyoroti apa pengaruhnya perilaku
komunikasi suami-istri terhadap pendidikan anak. Sementara itu, berkenaan dengan
masalah komunikasi kepada anak, bukan buku tentang pernikahan yang bertugas
membahasnya.
Kembali ke kasus gadis manja. Komunikasi orangtua banyak berperan
menjadikan seorang anak memiliki sifat manja. Anak belajar melakukan identifikasi
diri, tidak sekedar imitasi atau meniru-niru dari orangtua. Anak belajar menghayati
peristiwa “dari bagaimana orangtua menghayati”. Dalam hal ini, anak belajar dari
ekspresi yang tampak. Ini terutama kelihatan pada komunikasi sehari-hari antara
suami dan istri dan justru bukan pada komunikasi antara orangtua kepada anak.
Bukan merupakan sesuatu yang aneh jika istri berbicara dengan cara merajukrajuk
manja. Bagi pengantin baru, ini menyenangkan. Segala keindahan rasanya
bertabur menjadi satu ketika mendengar istri berkata manja. Tetapi hati-hatilah dalam
menempatkan kemanjaan agar tidak tetap terbawa ketika anak-anak telah lahir. Gaya
bicara istri yang merajuk manja bisa membawa anak untuk cengeng dan manja.
Masih sejenis ini adalah respon kita ketika mengalami sesuatu; entah tersandung
batu, entah digelitik suami, entah ketika udara begitu panas ataupun dingin; baik
dalam suasana bercanda, serius, santai ataukah dalam suasana tegang. Kadangkala
ketika udara terasa panas, kita cepat mengatakan, “Aduuh, panas, Mas. Kenapa sih
kok panas? Aduuh...!”
Dari sisi cara pengucapannya (sayang saya tidak bisa mencontohkan secara lisan
kepada Anda) kalimat itu bisa membawa anak belajar cengeng dan manja. Dari sisi
isi, kalimat-kalimat sejenis ini mendorong anak untuk mudah mengeluhkan cuaca
yang jika pola itu dibawa terus bisa sampai kepada sikap mudah menyalahkan
keadaan dan zaman (seperti yang kadang kita lihat di sekeliling kita). Kalimat seperti
itu juga merangsang anak tidak mensyukuri nikmat Allah dan menilai keadilan Ilahi
dengan cara yang sedemikian dangkal. Hanya karena hawa dingin yang agak kuat,
kita merasa Tuhan sedang “tidak berpihak kepada kita”; kita merasa Tuhan tidak
mendengar do’a kita. Alangkah seringnya kita bertuhan dengan sikap yang kekanakkanakan
dan egois. Alangkah seringnya kita ini keminter (sok cerdas) di hadapan
Allah, Tuhan Yang Maha Luas Pengetahuan-Nya. Allah telah mengabarkan:
“Maha sempurna pengetahuan-Nya tentang apa saja.” (QS. Al-Baqarah [2]:
29).
“Dan Allah Maha Luas, Maha Tahu.” (QS Ali ‘Imran [3]: 73).
Kado Pernikahan 277
Ungkapan yang spontan tentang apa saja di sekeliling kita maupun ucapanucapan
Anda kepada suami, merupakan alat untuk bercermin bagi anak. Anak belajar
menghayati hidup sehari-hari, memaknai rasa capek, ganjalan, dan berbagai bentuk
kejadian sebagaimana ia mengidentifikasi dari orangtua, terutama ibu.
Saya ingin memberi contoh kepada Anda tentang ungkapan spontan ini.
Sebagaimana ibu-ibu yang lain, anak Anda mungkin pernah kehujanan dan
kepanasan. Tetapi reaksi anak Anda terhadap pengalaman kehujanan yang ia alami
bisa berbeda seratus delapan puluh derajat dibanding anak-anak lain. Akibat dari
peristiwa itu pun akhirnya berbeda-beda bagi tiap anak. Apa yang membedakan?
Ungkapan spontan masing-masing orangtua, atau setidaknya ungkapan orangtua
ketika mengalami peristiwa serupa.
---
Gaya bicara istri yang merajuk manja bisa
membawa anak untuk cengeng dan manja.
---
Sebagian orangtua merespon anak yang pulang dalam keadaan basah kuyup
dengan ungkapan gembira. Bahkan sebagian ada yang bangga, “Lihat, dia datang. Dia
memang punya semangat. Itu, anakmu!”
Tetapi sebagian lainnya segera menyambut anak dengan sejumlah pertanyaan,
secara langsung kepada anak maupun tidak. Orangtua berkata, “Aduh..., kenapa kamu
basah kuyup begini? Tadi kan sudah kelihatan berawan, kenapa tidak membawa jas
hujan atau payung. Coba kalau tadi bawa payung, kamu tidak sampai kehujanan
seperti ini. Makanya, lain kali dengar kata Mama. Ini, kasihan sekali kamu. Pasti
kamu kedinginan....”
Atau, “Aduuh, Pak. Tadi kenapa Didin nggak disuruh bawa payung? Tuh,
kasihan dia. Kedinginan pasti. Coba tadi kamu mau perhatian sedikit, dia nggak harus
pulang dengan kehujanan begitu.”
Kalimat ini akan lebih “heroik” lagi kalau diteruskan hingga panjang sekali dan
diucapkan berulang-ulang, bahkan ketika anak sudah tidak merasa kedinginan (secara
fisik). Meskipun kalimat ini mengekspresikan perasaan ibu yang khawatir terhadap
anaknya karena besarnya perasaan sayang, tetapi efeknya bagi anak justru tidak
menguatkan jiwa. Anak merasa tertekan oleh “kesalahan-kesalahannya” (apalagi jika
Anda sebelumnya tidak mengingatkan untuk bawa payung)2 di saat dia masih merasa
kedinginan. Anak belajar untuk mengasihani dirinya sendiri sehingga ia melatih
dirinya untuk tidak berani menghadapi hujan dan tidak tahan terhadap “rintanganrintangan
kecil” yang ia jumpai, bahkan yang belum ia jumpai. Ia tidak bisa menjadi
seorang Emha Ainun Nadjib “muda” yang suatu saat harus tergopoh-gopoh
memberesi kertas yang akan dijualnya di saat hujan akan turun. Ia tidak bisa menjadi
seorang Imam Al-Ghazali yang ketika akan berguru disuruh gurunya untuk
membuang kotoran kuda dengan tangannya sendiri. Ia tidak bisa menjadi pribadi
cemerlang tanpa fasilitas (dimulai dari fasilitas payung).3 Ia hanya akan menjadi
Kado Pernikahan 278
manusia biasa-biasa saja sebatas fasilitas yang sanggup ia dapatkan dari orangtua.
Akibatnya, biaya mendidik akan sangat mahal.
Ini berbeda dengan kalimat pertama. Pada kalimat pertama ungkapan rasa
kasihan dari ibu tidak ditunjukkan dengan kata-kata kasihan, tetapi dengan kata-kata
yang menunjukkan kegembiraan ibu melihat anaknya datang. Kalimat seperti ini
memberikan efek yang lebih membesarkan hati dan menguatkan semangat. Apalagi
kalau diikuti dengan tindakan memberikan handuk (tubuh yang basah dapat
dikeringkan dengan handuk, bukan omelan), mengantarkannya ke kamar mandi,
memberinya minuman hangat, dan menemaninya sambil mendengar cerita-cerita dari
anak. Sikap seperti inilah yang menghangatkan jiwa anak. Bukan kata-kata
penyesalan dari Anda lantaran anak tidak membawa payung atau jas hujan.
Saya teringat dengan almarhum kakek. Saya menghabiskan masa kecil saya
bersama kakek sampai ia meninggal ketika saya kelas 1 SMP. Kami tinggal di rumah
yang bocor kalau hujan. Rumah-rumah lain juga banyak yang bocor. Bedanya, ketika
hujan datang, kami tidak menggerutu dan sedih sebagaimana yang kadang saya
dengar dari orang-orang lain yang mempunyai pengalaman serupa. Hujan selalu
disambut dengan penuh rasa syukur oleh almarhum kakek, setidaknya begitu yang
saya ingat. Setelah memberesi apa yang perlu diberesi, kami biasa berkumpul
bersama untuk menikmati makanan ringan yang digoreng nenek. Pada saat seperti itu,
kakek saya biasa menyitir ayat-ayat suci atau hadis yang menceritakan tentang nikmat
Allah, tentang turunnya hujan yang akan menumbuhkan tanaman-tanaman, tentang
mensyukuri nikmat, tentang surga, tentang kufur nikmat yang akan mengubah karunia
menjadi malapetaka. Allah Maha Kuasa mengubah hujan yang penuh kenikmatan
menjadi malapetaka yang merobohkan pohon-pohon dan menghanyutkan rumahrumah.
Kadang pada saat hujan seperti itu, kakek tekun membaca kitab dan
menceritakan isinya. Cerita tentang isi kitab sering seperti tidak ditujukan secara
langsung kepada anak cucunya, tetapi dibaca sedemikian rupa sehingga kami
mendengarnya. Atau, kakek berdialog dengan nenek tentang isi kitab.
Situasi semacam ini, yang melahirkan penghayatan tentang hujan sebagai nikmat
dan saat-saat akrab, saya rasakan amat besar manfaatnya. Saya tidak tergantung
kepada suasana yang terang dan tenang untuk membaca. Saat-saat hujan deras tetap
memberikan keasyikan untuk membaca, menulis, atau pun berdiskusi. Rintik hujan
bukan halangan untuk pergi (dengan jalan kaki) demi memperoleh apa yang
dibutuhkan, misalnya buku baru di toko.
Ada lagi manfaat-manfaat lain, khususnya bagi tumbuhnya semangat dan
kemampuan menghayati panas dan dingin atau keadaan lain sebagai karunia Tuhan
Yang Memberi Nikmat dengan adil. Begitu.
Astaghfirullahal ‘adzim.
Alhasil, komunikasi kita sehari-hari mempengaruhi kematangan anak,
mempengaruhi pendidikan anak. Komunikasi bersama anak ini mempengaruhi baik
dari segi cara kita berkomunikasi maupun dari segi isi komunikasi. Jika peribahasa
Kado Pernikahan 279
mengatakan bahasa menunjukkan bangsa, maka komunikasi menunjukkan
“bagaimana kita” sehingga seperti itulah anak mengidentifikasi.
Pengaruh ini tidak hanya secara khusus berkenaan konteks komunikasi kita.
Maksudnya, jika kita sering mengeluhkan hujan di saat kita akan pergi atau menjemur
pakaian, maka pengaruhnya bagi anak tidak hanya terhadap perasaannya ketika hujan
turun, tetapi meluas ke aspek-aspek lain.
Bicara tentang pengaruh isi komunikasi kita bagi pendidikan anak, saya teringat
dengan Murtadha Muthahhari. Ia pernah berkata:
Kita meratapi generasi ini disebabkan ia meninggalkan Al-Qur’an.
Mengapa mereka tidak mempelajari Al-Qur’an di sekolah-sekolah mereka?
Bahkan setelah memasuki perguruan tinggi, mereka tetap saja tidak mampu
membaca Al-Qur’an. Tak diragukan lagi, hal ini tentunya amat menyedihkan.
Namun seharusnya kita bertanya kepada diri kita sendiri. “Apa kiranya yang
telah kita lakukan sampai sekarang mengenai hal ini? Apakah, dengan
menyelenggarakan beberapa pelajaran fiqih dan cara membaca Al-Qur’an
seperti sekarang ini, kita dapat mendorong generasi ini mengerti kandungan
Al-Qur’an?
Sungguh aneh, generasi tua sendiri telah meninggalkan Al-Qur’an; namun
ia menyesali generasi mudanya karena tidak mengenal Al-Qur’an! Sungguh,
kita sendirilah yang telah menjauh dari Al-Qur’an, lalu mengharap generasi
muda kita mendekat kepadanya! Mari saya buktikan, bagaimana Al-Qur’an
menjadi sesuatu yang ditinggalkan di antara kita.
Jika seseorang diketahui sebagai pakar tentang Al-Qur’an, yakni banyak
melakukan penelitian dan perenungan tentang makna-makna yang terkandung
di dalamnya; atau ia mempelajari tafsir Al-Qur’an secara mendalam, sejauh
apa ia dihormati di kalangan kita? Nihil!
Saya tertarik untuk mengutip tulisan Muthahhari ini karena saya belum bisa baca
Al-Qur’an dan belum mampu menjadikannya sebagai pegangan hidup, yang
kepadanya saya berkonsultasi setiap hari dalam menghadapi berbagai hal. Muthahhari
menunjukkan lebih lengkap lagi dalam bukunya bahwa jauhnya generasi muda dari
Al-Qur’an karena orang-orang tua tidak menunjukkan apresiasi yang tinggi terhadap
orang yang memiliki penguasaan bagus atas Al-Qur’an.
Generasi muda mengambil semangat dari bagaimana orangtua mereka menyikapi
segala sesuatu di sekeliling mereka. Ketika mereka mendapati orangtua kurang
perhatian terhadap orang yang memiliki penguasaan Al-Qur’an, memberi respon yang
datar, dan tidak terdengar ucapan yang menyiratkan kecintaan, maka mereka tidak
menaruh minat dan bahkan lebih jauh lagi dibanding orangtua mereka. Ini tidak
berarti orangtua mereka tidak mengajarkan kepada mereka tentang Al-Qur’an, tidak
berarti orangtua mereka tidak membaca Al-Qur’an, tidak berarti orangtua mereka
jauh dari Al-Qur’an, dan juga tidak berarti orangtua mereka tidak mencintai Al-
Qur’an. Tetapi kecintaan dan kedekatan mereka dengan Al-Qur’an tidak dicerminkan
dalam ucapan spontan dan sikap menghargai terhadap Al-Qur’an dan orang-orang
Kado Pernikahan 280
yang menguasainya, kecuali dalam bentuk ungkapan formal dalam pengajaran.
Contoh ungkapan formal ini adalah, “Al-Qur’an adalah pegangan hidup setiap
muslim. Setiap muslim harus mempunyai Al-Qur’an.”
Ungkapan semacam ini tidak menggerakkan jiwa. Ungkapan ini lebih bersifat
kognitif yang menjadi makanan bagi otak saja, tetapi tidak menghidupkan kehendak
(konasi) dan rasa (afeksi). Padahal jika kehalusan perasaan dan kehendak kita
bergerak (dzauq), pikiran kita juga ikut hidup. Pikiran kita bekerja.
Bandingkan dengan ungkapan kita ketika mendengar rekan kita diterima di
sebuah perusahaan otomotif. Apa yang kita katakan? Kita mengucapkan,
“MasyaAllah, hebat ya. Wah, nanti besar sekali gajinya itu.”
Sangat lain efeknya terhadap perasaan kita antara kalimat pertama tadi dengan
kalimat terakhir yang baru saja kita dengar. Kalimat pertama lebih banyak bermuatan
informasi dengan urutan logis: jika Al-Qur’an penting, maka setiap orang perlu punya
Al-Qur’an. Sedang kalimat kedua secara langsung membangkitkan rasa kagum kita
terhadap pekerjaan di perusahaan otomotif sekaligus menanamkan nilai bahwa letak
kehebatan itu ada pada gaji.
Karena itu, saya pernah merasa risau ketika membaca sebuah buku panduan
untuk ustadz/ustadzah TPA. Dalam buku itu dituliskan kalimat yang perlu diucapkan
oleh seorang ustadz ketika menerangkan konsep tentang qadha dan qadar.
Mari kita simak cuplikan sekilas tentang qadar sambil merenungkan apakah itu
sesuai untuk anak. Silakan periksa kalimat berikut ini:
“SEKARANG apa yang dimaksud dengan Qadar itu? Adapun yang dimaksud
dengan Qadar adalah ketentuan-ketentuan Allah yang harus berlaku bagi setiap
makhluk sesuai dengan batas ketentuan Allah yang telah diputuskan sejak zaman
azali. Apakah hal tersebut berakibat baik atau buruk, segala sesuatunya telah
ditentukan oleh Allah SWT.”4
Kalimat seperti itu tidak memiliki muatan perasaan, sehingga sulit
menggerakkan jiwa dan membangkitkan perasaan terhadap kekuasaan Allah. Kalimat
di atas lebih bersifat kognitif, hanya memberi informasi definisi qadar pada otak kita.
Ditinjau dari segi tingkat abstraksinya,5 kalimat tersebut lebih sesuai untuk
mahasiswa daripada santri TKA. Penjelasan dengan kalimat yang membutuhkan
kemampuan memahami konsep seperti pada kalimat di atas, saya rasa lebih sesuai
untuk mahasiswa Fakultas Ushuluddin jurusan Aqidah Filsafat dibanding anak usia
TK atau SD. Ditinjau dari teori Jean Piaget tentang perkembangan kognitif, anakanak
usia TK belum mencapai tahap berpikir operasional formal. Dan menurut perkembangan
taklif pun, mereka baru berkisar tahap tamyiz (membedakan benar salah
dan baik buruk dengan kemampuan akalnya).
Anda barangkali merasa bingung dengan penjelasan ini lantaran dalam praktek
pengajaran, anak-anak TKA menunjukkan respon dan mampu menanggapi ketika
ditanya tentang pengertian qadar. Mereka dapat menyahut ketika ustadz
mengucapkan kalimat yang memang sengaja tidak diselesaikan.
Kado Pernikahan 281
Mengenai persoalan tersebut, saya ingin menjelaskan dengan apa yang saya
sebut sebagai pseudo-afektif (seolah-olah bersifat afektif). Guru dan orangtua sering
merasa bahwa anak-anak antusias betul dan tanggap terhadap apa yang disampaikan
ketika anak dengan cepat melengkapi kalimat kita yang tidak selesai. Guru (juga
orangtua) mengira, itu menunjukkan bahwa anak mampu menyerap materi yang
diajarkan, sekalipun sulit. Padahal anak sesungguhnya hanya antusias untuk
melengkapi kalimat dan tidak bersangkut paut dengan pemahaman dan penghayatan
materi. Kecepatan melengkapi kalimat lebih banyak berhubungan dengan daya ingat
daripada pencerapan. Apalagi jika anak “belajar” dari orangtua bahwa pendengar
harus segera merespon kata-kata yang terpenggal ketika seorang ustadz memberi
ceramah. Misalnya, anak melihat bagaimana ibunya selalu meneruskan kata-kata
ustadz yang tidak selesai sekalipun tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh.
Karena itu ketika di TKA ustadznya mengucapkan kalimat, “Jadi, ini merupakan takdir
Al... All...?”, maka ia segera menyahut, “Allah....!”
Pembicaraan ini saya cukupkan sampai di sini, mengingat bab ini bukan tentang
komunikasi ustadzah TKA. Pembicaraan lebih jauh tentang kalimat yang mempunyai
muatan perasaan, silakan Anda baca sendiri di buku yang lain. Salah satu buku yang
bisa Anda baca adalah Mutiara Ilmu Balaghah terbitan Mutiara Ilmu, Surabaya.
Sebagai penutup pembicaraan kita tentang kalimat yang menggerakkan jiwa,
rasakan kalimat berikut. Ucapkan kepada anak Anda yang mulai mengerti:
“Wahai Anakku, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kata ini
sebagai nasehat buatmu. Jagalah hak-hak Allah, niscaya Allah pasti akan menjagamu.
Jagalah dirimu dari berbuat dosa terhadap Allah, niscaya Allah akan selalu berada di
hadapanmu.
Apabila engkau menginginkan sesuatu, mintalah pada Allah. Dan apabila engkau
menginginkan pertolongan, mintalah pertolongan pada Allah. Ketahuilah, bahwa
apabila seluruh umat manusia berkumpul untuk memberi manfaat padamu, mereka
tidak akan mampu melakukannya kecuali apa yang telah dituliskan oleh Allah di
dalam takdirmu itu. Juga sebaliknya, apabila mereka berkumpul untuk mencelakai
dirimu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakaimu sedikit pun kecuali atas
kehendak Allah.
Pena telah diangkat dan lembaran takdir telah kering.”6
***
Pembicaraan kita tentang pengaruh komunikasi suami-istri terhadap pendidikan
anak masih panjang. Tetapi saya mengalami kesulitan dalam mengungkapkan secara
tertulis karena sebagian lebih mengena untuk dibicarakan secara lisan daripada
melalui tulisan. Pengungkapan secara lisan memungkinkan untuk mencontohkan
secara gamblang, terutama yang bersangkut paut dengan cara bicara, ekspresi wajah,
intonasi, dan perbedaan volume suara.
Demikianlah. Dan sekarang izinkan saya untuk memasuki bab berikutnya
Keasyikan yang Menghancurkan Keluarga.
Kado Pernikahan 282
Astaghfirullahal ‘adzim. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin.
Catatan Kaki:
1. Simptom adalah gejala yang nampak.
2. Kadang ibu tidak mengingatkan anak untuk membawa payung atau jas hujan
ketika anak akan berangkat les, misalnya. Tetapi ketika melihat anak pulang
dalam keadaan kehujanan, ia sibuk menanyai anak mengapa tadi tidak membawa
payung dan asyik menyalahkan suami lantaran tadi tidak menyuruh anak
membawa payung. Sikap semacam ini memberi efek yang negatif bagi anak.
Inilah yang disebut dengan argumentum ad hominem atau menyalahkan orang
untuk membenarkan diri sendiri. Lebih jauh silakan lihat Salahnya Kodok:
Bahagia Mendidik Anak bagi Ummahat (MitraPustaka, 1996).
Sesungguhnya, rasa penyesalan bisa menjadi semangat bagi anak jika
diungkapkan dengan cara yang tepat tanpa si-buk menutup-nutupi kesalahan diri
sendiri. Misalnya, “Maaf-kan, Ibu. Ibu lupa tidak mengingatkanmu membawa
payung sebelum kau berangkat tadi.”
3. Sesungguhnya segala sesuatu yang ada di dunia ini, di sekeliling kita ini, adalah
fasilitas bagi pencapaian kesempurnaan kita. Peristiwa hujan dan panas, air yang
mengalir maupun angin yang berhembus, adalah fasilitas bagi kematangan jiwa
anak dan latihan jiwa anak. Sesungguhnya setiap hal yang kita jumpai adalah
pelajaran bagi orang-orang yang mengambil pelajaran. Mahasuci Allah dengan
segala ciptaan-Nya.
4. Pengurus TKA dan TPA Al-Ikhlas Bidang Kurikulum, Kumpulan Materi TKA:
Aqidah, Akhlak dan Syari’ah, TKA dan TPA Al-Ikhlas Samirono, Catur Tunggal,
Yogyakarta, 1997.
5. Semakin tinggi tingkat abstraksi sebuah kalimat, semakin sulit orang
membayangkan, semakin rendah tingkat abstraksinya semakin mudah orang
membayangkan. Penggambaran tentang surga dalam Al-Qur’an memakai kalimat
yang mengandung nilai abstraksi rendah sehingga justru memungkinkan orang
untuk membayang-bayangkan betapa indahnya surga yang di dalamnya ada
bidadari-bidadari yang sebaya usianya dengan kita, yang selalu perawan dan
penuh gairah, yang di bawahnya mengalir sungai-sungai susu, yang.... ah, bisakah
kita mendapatkan surga-Nya?
Setelah orang membayang-bayangkan betapa nikmatnya surga, kita diberi
penjelasan dengan tingkat abstraksi yang tinggi. Sehingga insya-Allah justru
membangkitkan rasa penasaran kita. Sebab segala keindahan yang sanggup kita
bayangkan, ternyata masih tidak akan sanggup mewakili keindahan yang ada di
surga. Wallahu A’lam bishawab.
Kado Pernikahan 283
6. Kalimat ini adalah nasehat Rasulullah kepada Ibnu ‘Abbas. Ketika itu Ibnu
‘Abbas masih kanak-kanak yang baru mengerti. Hadis ini diriwayatkan oleh At-
Tirmidzi.
Membandingkan materi panduan untuk ustadzah TKA dengan hadis Nabi
memang tidak adil. Tapi saya tidak menemukan contoh yang lebih baik dibanding
hadis ini. Ada contoh lain sebagaimana termuat pada buku Mendidik Anak
Bersama Rasulullah karya Muhammad Nur Abdul Hafizh (Al-Bayan, 1997) hal.
120, akan tetapi sama-sama hadis Nabi. Karena itu saya mohon maaf.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar